//

Kalkulator Panjar Perkara (KALPARA)

Aplikasi Kalkulator Panjar Perkara (KALPARA) untuk Memudahkan Masyarakat dalam Melakukan Etimasi Biaya Berperkara

SIPP

Melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), anda akan mengetahui tahapan, status dan riwayat perkara.

Jadwal Sidang

Pengadilan Agama memberikan kemudahan akses informasi jadwal sidang untuk para pihak yang sedang berperkara.

PTSP Online

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Online merupakan aplikasi berbasis web yang dapat memberikan pelayanan administrasi secara online

e-court

Layanan Pendaftaran Perkara, Taksiran Panjar Biaya Perkara, Pembayaran dan Pemanggilan yang dilakukan Secara Online.

Dipublikasikan oleh admin on . Hits: 1704

Access to Justice bagi Penyandang Disabilitas

Akses terhadap keadilan (access to justice) merupakan hal yang harus didapatkan oleh setiap masyarakat pencari keadilan tanpa terkecuali. Akses untuk memperoleh keadilan ini kemudian menjadi semakin krusial dan perlu mendapat perhatian khusus manakala pihak yang berperkara di pengadilan merupakan para penyandang disabilitas yang seringkali termarjinalkan.

David Allen Larson dalam penelitiannya mengemukakan, “Persons with disabilities often find themselves marginalized by society and by our justice systems.., yang berarti setiap orang dengan disabilitas seringkali terpinggirkan (mendapatkan diskriminasi) oleh masyarakat dan sistem peradilan yang ada, padahal seyogyanya para penyandang disabilitas yang juga merupakan warga negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum seperti halnya warga negara lainnya, dan harus diperlakukan sama tanpa diskriminasi.

Seiring dengan hal itu, Al-Qur’an pun telah mengatur terkait adanya persamaan harkat dan martabat manusia di hadapan Allah subhanahu wata’ala, dan tidak ada yang membedakan hal tersebut kecuali ketaqwaan manusia itu sendiri. Hal ini digambarkan melalui firman-Nya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu...” (QS. Al Hujurat, 49: 13).

Selain itu, jika kita melihat asbabnun nuzul dari QS. Abasa, misi dari surat tersebut adalah berisi teguran Allah subhanahu wata’ala kepada Nabi Muhammad SAW karena lebih mengutamakan petinggi Quraisy dibanding dengan orang biasa yang merupakan tuna netra. Maka dari hal tersebut dapat kita ambil hikmah bahwa kita tidak boleh membedakan perlakuan kita kepada seseorang berdasarkan status sosial, ekonomi, maupun dari keterbatasannya. Hal ini dikarenakan setiap manusia sejatinya memiliki harkat dan martabat yang melekat pada kemanusiaannya, dan kondisi disabilitas yang dialami oleh sebagian manusia adalah takdir ilahi serta tidak menjadi penyebab hilangnya harkat dan martabat para penyandang disabilitas, atau menjadi alasan untuk tidak menyetarakan mereka dengan manusia yang lain dalam segala aspek kehidupan.

Rasulullah SAW pun pernah bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Robbmu satu dan sesungguhnya ayahmu satu. Ketahuilah, tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab, tidak pula non-Arab atas orang Arab, serta tidak pula orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah. Yang membedakan adalah takwanya.” (HR. Ahmad). Dalam hadits lain juga disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk atau rupa kamu, juga tidak kepada harta benda kamu. Akan tetapi, Allah SWT memandang kepada hati dan amal perbuatanmu semata” (HR. Ibnu Majah).

Dari kedua hadits tersebut, dapat diambil pesan bahwa sesungguhnya semua manusia itu sama, yang membedakan hanya ketaqwaannya kepada Allah. Oleh karena itu, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar apa pun, terutama dalam hal penegakan hukum yang sejatinya bertujuan untuk memberikan keadilan kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk dalam hal bagi penyandang disabilitas.

 Sementara itu pada kenyataannya, para penyandang disabilitas seringkali kesulitan untuk mendapatkan akses keadilan dikarenakan keterbatasannya, baik fisik maupun intelektual. Untuk menghindari hal tersebut, sejatinya sistem peradilan di Indonesia telah menerapkan prinsip equality before the law (perlakuan yang sama di hadapan hukum) untuk memastikan setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengakses keadilan.

Menurut Ramly Hutabarat, perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) mengandung makna setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) sendiri merupakan salah satu hak konstitusional warga negara Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan. Ketentuan terkait hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum ini diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).

Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum tersebut berlaku untuk setiap warga negara Indonesia, termasuk di dalamnya adalah para penyandang disabilitas. Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/ atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Bagi para penyandang disabilitas, pengaturan terkait hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas). Pasal tersebut menyatakan bahwa dalam hal hak keadilan dan perlindungan hukum untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum. Selain itu, Pasal 5 ayat (1) UU Disabilitas juga menyatakan bahwa Penyandang Disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum.

Untuk memastikan setiap penyandang disabilitas ini terpenuhi haknya dalam hal persamaan di hadapan hukum dan terwujudnya keadilan, maka para penyandang disabilitas tersebut medapatkan kemudahan dan perlakuan khusus tersendiri yang dijamin oleh konstitusi. Hal ini diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Selain itu, Pasal 5 ayat (3) UU HAM juga menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Selanjutnya dalam Pasal 41 ayat (2) kemudian dijelaskan bahwa kelompok masyarakat yang termasuk dalam mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus ini adalah setiap orang penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak.

Perlakuan khusus ini dapat berupa penyediaan bantuan hukum kepada Penyandang Disabilitas dalam setiap pemeriksaan pada setiap lembaga penegak hukum, pertimbangan/ saran dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya mengenai kondisi kesehatannya, psikolog atau psikiater mengenai kondisi kejiwaannya, serta pendamping dan penerjemah untuk mendampingi para penyandang disabilitas yang sedang berperkara.

Selain itu, pemberian akses dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan juga merupakan kewajiban lembaga penegak hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Disabilitas. Pemberian akomodasi dan akses yang ramah terhadap difabel ini dapat berupa penyediaan kursi roda, lift untuk pengadilan dengan gedung bertingkat, ruang tunggu, ruang sidang, dan toilet yang mudah diakses oleh para penyandang disabilitas.

Dalam lingkup peradilan Agama, standarisasi pelayanan bagi penyandang disabilitas telah dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari adanya Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 206/DJA/SK/I/2021 Tentang Standar Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas di Lingkungan Peradilan Agama.

Standarisasi pelayanan bagi penyandang disabilitas ini dilakukan demi mewujudkan pelayanan hukum yang berkeadilan di lingkungan peradilan agama yang sesuai dengan Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035. Adanya standarisasi tersebut juga diberlakukan agar setiap pelayanan di lingkungan peradilan agama dapat dijangkau secara nyaman oleh semua lapisan masyarakat, terutama bagi para penyandang disabilitas dalam rangka mewujudkan pengadilan yang inklusif. Pengadilan inklusif ini bermakna bahwa pengadilan harus dapat menjamin peradilan yang imparsial, non diksriminatif yang diwujudkan dengan persamaan hak pencari keadilan di muka hukum (equality before the law), serta mengedepankan partisipasi penuh dan bermakna bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan.

Dari penjelasan-penjelasan di atas kemudian dapat diambil kesimpulan bahwa peradilan agama telah berupaya mewujudkan akses terhadap keadilan yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali bagi para penyandang disabilitas. Oleh karena hal itu, maka seyogyanya seluruh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama berusaha untuk menerapkan standarisasi pelayanan bagi penyandang disabilitas tersebut dengan sebaik-baiknya, sehingga para difabel yang sedang berperkara di pengadilan agama mendapat kemudahan dalam berperkara, terpenuhi hak-haknya, tidak didiskriminasi, dan meperoleh keadilan yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara. (Fatichatul Azekiyah Syafridah, S.H.)

SIPP

DIRPUT

SIMARI

KOMDANAS

SIKEP

ABS

LPSE

PERPUS

Pengadilan Agama Jombang Kelas IA

Jalan Prof. DR. Nurcholish Madjid
Denanyar, Jombang,
Jawa Timur

(0321) 851337

WA : 0896-8542-0822

pa_jombang@yahoo.co.id



Website ramah disabilitas